Penebangan hutan sudah tidak asing lagi bagi kita, terutama di Indonesia. Indonesia adalah pemilik 126,8 juta hektar hutan. Hutan seluas ini merupakan tempat tinggal dan pendukung kehidupan 46 juta penduduk lingkar hutan. Namun, saat ini, hutan kita berada dalam kondisi kritis. Laju perusakan hutan di Indonesia mencapai 2 juta hektar per tahun. Artinya, tiap tahun kita kehilangan areal hutan kurang lebih seluas Pulau Bali. Kerusakan hutan kita dipicu oleh tingginya permintaan pasar dunia terhadap kayu, meluasnya konversi hutan menjadi perkebunan sawit, korupsi dan tidak ada pengakuan terhadap hak rakyat dalam pengelolaan hutan.
Hilangnya hutan dan bencana
Sebenarnya, hutan Indonesia hanya mampu memasok 46,77 juta meter kubik kayu bulat tiap tahunnya. Sayangnya, hal ini tak dipahami secara baik oleh pelaku industri kehutanan. Mereka terus saja menambah kapasitasnya tanpa memperhatikan kemampuan alam. Kapasitas industri kayu Indonesia mencapai 96,19 juta meter kubik, dua kali lipat kemampuan hutan Indonesia. Maraknya pembalakan liar adalah akibat dari ketimpangan permintaan dan ketersediaan kayu yang semakin meluluhlantakkan hutan kita. Tercatat total kayu ilegal untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam negeri mencapai 30,18 juta meter kubik, yang telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp. 36,22 triliun pada tahun 2006.
Ilmuwan di berbagai belahan dunia telah membuktikan hubungan langsung antara kerusakan hutan dengan bencana banjir dan longsor, konflik dengan masyarakat, hilangnya keanekaragaman hayati, timbulnya kebakaran hutan dan juga sebagai salah satu faktor pemicu perubahan iklim global.
Pada tahun 2006 saja, terjadi 59 kali bencana banjir dan longsor yang memakan korban jiwa 1.250 orang, merusak 36 ribu rumah dan menggagalkan panen di 136 ribu hektar lahan pertanian. WALHI mencatat kerugian langsung dan tak langsung yang ditimbulkan dari banjir dan longsor rata-rata sebesar Rp. 20,57 triliun setiap tahunnya, atau setara dengan 2,94% dari APBN 2006.
Penebangan hutan dan penurunan jumlah hutan adalah penyebab terbesar dari gas emisi rumah kaca. Diperkirakan sampai hampir 20 % dari emisi global. Di Indonesia persentasinya lebih jauh lebih besar, karena hutan yang luas di Indonesia terus berkurang dengan laju mencapai tingkat yang berbahaya.
Sembilan negara yang ditargetkan dalam fase awal program ini adalah Indonesia, Bolivia, Demokratik Republik Congo, Panama, Papua New Guinea, Paraguay, Tanzania, Vietnam dan Zambia. Beberapa diantara negara-negara ini, termasuk Indonesia, akan memulai ”start cepat” dalam usaha-usaha mereka melalui strategi pengembangan nasional, menetapkan sistim yang kuat untuk pemantauan, penilaian, pelaporan dan verifikasi dari besar luas hutan dan stok karbon, dan membangun kekuatan-kekuatan yang perlu – dengan memberikan dukungan kepada yang lainnya untuk dapat mengikuti pada saat yang tepat. Pada fase-fase berikutnya, proyek perintis akan diadakan untuk menguji cara-cara pengelolaan hutan-hutan yang ada dalam rangka memelihara pelayanan-pelayanan ekosistim mereka dan memaksimalkan stok-stok karbon mereka sementara menyampaikan manfaat-manfaat komunitas dan mata pencaharian.
Akibat dari penebangan hutan :
Dunia hadapi krisis air bersih pada tahun 2025 itu pum akibat kerusakan lingkungan yang sangat amat berat. Kerusakan ini bisa di sebabkan dari berbagai media misalkan, kerusakan hutan, pencemaran udara efek rumah kaca dan masih banyak lagi. Dan seperti yang di beritakan oleh ahli konservasi dunia memperkirakan 2 dari 3 penduduk dunia akan kesulitan mendapatkan air bersih pada tahun 2025. Jangankan pada tahun 2025 pada tahun-tahun lalu indonesia telah mengalami kekeringan yang terjadi pada saat musim kemarau tiba, dan ini di sebabkan tidak adanya pepohonan yang mengikat air tanah pada daerah tertentu.
Menteri Kehutanan harus punya inisiatif untuk bekerja sama dengan Presiden dalam penanggulangan penebangan hutan secara liar.
Kamis, 23 April 2009
Langganan:
Postingan (Atom)